ASAL USUL NAMA DESA KEBOANSIKEP, KECAMATAN GEDANGAN –
KABUPATEN SIDOARJO / JATIM
ASAL USUL NAMA DESA KEBOANSIKEP
KECAMATAN GEDANGAN KABUPATEN SIDOARJO
( KAJIAN LEGENDA DAN BUDAYA )
OLEH :
DWI LUKITAWATI
NIM : 0844007
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
SIDOARJO
SEJARAH-2008 A
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah Lokal mengandung suatu pengertian, bahwa suatu
peristiwa yang telah terjadi hanya meliputi suatu daerah dan tidak menyebar ke
daerah lainnya. Sejarah lokal tentang suatu daerah memuat masalah awal suatu
daerah tersebut seperti asal usul daerah bersangkutan sampai kepada
perkembangan daerah itu pada masa berikutnya. Taufik Abdullah (1996)
mendefinisikan sejarah lokal sebagai “sejarah dari suatu tempat”, suatu
locality yang batasnya ditentukan oleh perjanjian penulis sejarah.
Setiap wilayah di Indonesia memiliki karakter tersendiri.
Hal ini disebabkan masing-masing wilayah terbentuk melalui proses sejarah
panjang yang berbeda-beda. Demikian juga kebudayaan, merupakan produk dari
proses sejarah yang panjang. Oleh karena itu, Sejarah Lokal merupakan yang
kompleks yang memiliki banyak aspek dari keseluruhan pengalaman kolektif masa
lalu meliputi aspek sosial-budaya, polotik, agama, teknologi, ekonomi, dan
sebagainya dalam suatu wilayah tertentu.
Sejarah lokal yang identik dengan cerita rakyat sampai
sekarang masih berkembang terus dan penyebarannya secara turun menurun oleh
masyarakat. Tetapi masih banyak cerita rakyat yang belum terdeteksi maupun
terekap dalam bentuk tulisan maupun kajian. Cerita ini biasanya berupa cerita
yang berbentuk kepahlawanan, legenda, keunikan, maupun yang lainnya.
Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di daerah biasanya dikenang dan diingat
dalam bentuk nama. Nama tersebut biasanya diambil dari nama peristiwa, orang,
binatang, tumbuhan, dan sebagainya. Menurut Suyono (1990: 123) keseluruhan nama
itu selalu mengandung makna, meskipun dalam motif yang berbeda-beda, ada yang
sebagai pengingat-pengingat suatu peristiwa, sesuatu harapan, atau hanya
sebagai suatu tanda.1
Oleh karena berbagai alasan di atas, penulis ingin meneliti,
menelaah, dan merekap sejarah lokal di desa Keboansikep Kecamatan Gedangan
Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini oleh penulis diberi judul “Asal-usul Nama
Desa Keboansikep di Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo (Kajian Legenda dan
Budaya)”.
Penulis ingin meneliti asal-usul nama suatu desa, karena
asal-usul suatu desa di Keboansikep Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo sepanjang
pengetahuan penulis belum ada yang meneliti ataupun menganalisisnya. Banyak
masyarakat di Indonesia yang tidak memahami atau mengetahui tentang sejarah
lokal di daerahnya masing-masing. Hal ini dikarenakan minimya pengetahuan
tentang sejarah lokal di wilayahnya, misalnya sumber untuk mengetahui sejarah
lokal di wilayhnya sedikit, banyak saksi sejarahnya sudah meninggal bahkan
pikun, bukan penduduk asli wilayah tersebut dan lain sebagainya. Selain itu,
setelah penulis melakukan wawancara kepada salah satu informan, penulis
menemukan adanya keunikan dari budaya yang terkandung di dalam cerita-cerita
tersebut. Hal ini patut untuk diteliti lebih lanjut agar masyarakat lebih
memahami dan menghargai cerita-cerita rakyat yang terdapat di daerah mereka
masing-masing.
B. Fenomena dan Pertanyaan Penelitian/Fokus Penelitian
Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap
makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi
pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami,
sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji
menurut Creswell (1998:54).2
Fenomena : Asal-usul Nama Desa Keboansikep Kecamatan
Gedangan Kabupaten Sidoarjo Kajian Mitos dan Budaya.
Fokus Penelitian :
1. Bagaimanakah legenda asal-usul nama Desa Keboansikep
Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo ?
2. Tradisi / budaya apakah yang masih dilaksanakan secara
turun temurun di desa Keboansikep Kecamatan Gedangan Kabupaten
Sidoarjo ?
C. Ruang Lingkup dan Pembatasan Masalah Penelitian
Daerah penelitian menurut DR. Kartini Kartono dalam bukunya
Pengantar Metodologi Riset Sosial menyatakan bahwa “ yang dimaksud daerah
penelitian adalah meliputi bidang lapangan atau bidang jangkauan yang memadai
dan sesuai dengan kemampuan sendiri “.3
Adapun yang menjadi ruang lingkup atau daerah penelitian
adalah Desa Keboansikep Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo. Dalam karya
tulis ini penulis memberi batasan-batasan tertentu dalam pembahasan masalah
ini, yaitu: kajian legenda/cerita asal usul nama Desa Keboansikep Kecamatan
Gedangan Kabupaten Sidoarjo, Perang Diponegoro sebagai latar belakang
terbentuknya Desa Keboansikep dan kajian budaya yang masih dilaksanakan secara
turun temurun di Desa Keboansikep Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo.
D. Tujuan Penenitian
Dalam penelitian deskriptif, tujuan penelitian adalah untuk
memperoleh gambaran dan diskripsi secara rinci, sistematis dan akurat suatu
fenomena. Suatu penelitian ada yang hanya memerlukan satu tujuan, ada juga mempunyai
beberapa tujuan sesuai dengan sub-permasalahan (Zainuddin:1988). 4
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu
:
1. Mendeskripsikan sejarah Desa Keboansikep Kecamatan
Gedangan Kabupaten Sidoarjo.
2. Memberi gambaran tentang tradisi yang masih dilaksanakan
di Desa Keboansikep Kecamatan
Gedangan Kabupaten Sidoarjo.
E. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
menghasilkan temuan yang dapat menumbuhkan rasa menghargai pada setiap anggota
masyarakat dan menambah kecintaan terhadap hasil kebudayaan dari daerahnya
masing-masing.
Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah
menambah pengetahuan dan pengalaman dalam bidang sejarah lokal yaitu dapat
digunakan sebagai pengetahuan dan informasi tentang asal-usul nama Desa
Keboansikep Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo dan untuk mendorong semangat
melestarikan budaya nasional bagi generasi muda pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
F. Batasan Istilah
Setiap istilah yang unik, istilah yang mempunyai beberapa
pengertian atau dapat diartikan ganda, yang berhubungan erat dengan
konsep-konsep pokok dengan masalah yang diteliti atau variabel penelitian harus
diberi definisi. Definisi istilah ini penting untuk menyamakan pengertian dan
makna istilah yang dimaksud. Definisi istilah dapat berbentuk definisi
operasional variabel yang diteliti dan dititik beratkan pada pengertian yang
diberikan oleh peneliti. Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan
atas sifat-sifat sesuatu yang didefinisikan yang dapat diamati dan diukur.
Sehingga dari definisi operasional tersebut akan mengacu pada cara pengambilan
data dan alat pengumpul data yang akan digunakan.
Pemberian batasan istilah dimaksudkan untuk menghindari
timbulnya salah pengertian, perbedaan pendapat maupun salah penafsiran dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
1. Asal-usul
Menurut KBBI adalah riwayat, cerita (secara urut dari awal
sampai terjadinya suatu peristiwa).5
2. Nama
Menurut KBBI adalah kata untuk menyebut atau memanggil orang
(tempat, barang, binatang, dsb).5
3. Desa
Menurut KBBI adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh
sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri.5
4.Kecamatan
Menurut KBBI adalah 1 daerah bagian kabupaten (kota madya)
yang mem-bawahkan beberapa kelurahan, dikepalai seorang camat, 2 bagian
pemerintahan daerah yang dikepalai seorang camat.5
5. Kabupaten
Menurut KBBI adalah 1 daerah swatantra tingkat II yang
dikepalai oleh bupati yang setingkat dengan kota madya, dan merupakan bagian
langsung dari provinsi dan terdiri atas beberapa kecamatan, 2 kantor tempat
kerja bupati, 3 rumah tempat tinggal bupati.5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kajian Pustaka/Landasan Teori
Menurut Ahimsa Putra (2007: 3) teori dapat diartikan sebagai
suatu pernyataan, pendapat atau pandangan mengenai (1) hakekat suatu kenyataan
atau suatu fakta, atau tentang (2) hubungan antara kenyataan atau fakta
tersebut dengan kenyataan atau fakta lain, dan kebenaran pernyataan tersebut
telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu. Penelitian pada dasarnya
adalah upaya memecahkan suatu permasalahan. Suatu hal yang penting dalam suatu
permasalahan adalah pemahaman terhadap masalah tersebut. Usaha memahami masalah
ini dapat dilakukan dengan melihat serta menggali teori yang sudah ada
disekitar masalah itu. Tujuan kajian pustaka adalah untuk memperoleh informasi
yang relevan dengan masalah yang diteliti, mempedalam pengetahuan tentang obyek
(variabel) yang diteliti, mengkaji teori dasar yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti, mengkaji temua penelitian terdahulu, dan mencari informasi aspek
masalah yang belum tergarap.
1. Legenda
Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri mirip
dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci.
Berlainan dengan mite, legenda tokohnya manusia, walaupun ada kalanya mempunyai
sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib.
Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal kini, karena waktu
terjadinya belum terlalu lampau (Bascom dalam Danandjaja, 1986: 50).6
Dalam bukunya (Tradisi Lisan Jawa, 2005: 164), Suwardi
memaparkan bahwa legenda merupakan cerita asal-usul suatu tempat dengan
ditandainya tokoh makhluk superior. Legenda sering memunculkan figur istimewa,
namun tidak dianggap keramat seperti tokoh mite. Tokoh-tokoh kepahlawanan
sering muncul dalam legenda tertentu dan legenda ini sering pula dianggap
sebagai fakta sejarah yang pernah terjadi.6
Legenda artinya suatu cerita yang dianggap benar oleh masyarakat.
Kebenaran itu dianggap sebagai kebenaran dari segi sejarah atau kepercayaan
semata-mata. Walau bagaimanapun menurut Prof. Dr. Ismail Hamid menganggap bahwa
legenda merupakan sejarah rakyat karena legenda mempunyai latar belakang
sejarah. Fokus legenda adalah tokoh tertentu, pada suatu sejarah tertentu dalam
suatu masyarakat. Ceritanya dianggap benar dan sukar dinafikan. Sebagai contoh,
bagi masyarakat Melayu ada cerita-cerita rekaan yang ditujukan kepada
watak-watak tertentu, disesuaikan dengan ketokohannya, perjuangannya, dan
keperwiraannya. Ceritanya dikaitkan dengan semangat kebangsaan yang
mengambarkan perjuangan mereka demi kedaulatan bangsa. Mengenai legenda, Jan
Harold Brunvand (via Danandjaja, 1986: 67) menggolongkannya menjadi empat kelompok,
yakni: (1) legenda keagamaan (religious legends), (2) legenda alam gaib
(supernatural legends), (3) legenda perseorangan (personal legends), dan (4)
legenda setempat (local legends). Meski demikian, dalam perkembangannya, cerita
legenda yang terkenal adalah golongan ke-4, yakni golongan legenda setempat
(local legends). Golongan legenda ini menceritakan hubungan tokoh manusia sakti
dengan munculnya suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi suatu daerah.
Misalnya, tokoh Sangkuriang dan Dayang Sumbi merupakan background terjadinya
gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat, tokoh Bandung Bandawasa dan Rara
Jonggrang sebagai background terjadinya Candi Prambanan (Candi Sewu) di Jawa
Tengah, “Asal Mula Nama Banyuwangi” dan “Asal Mula Nama Desa Jember” di Jawa
Timur, dan lain-lain.
2. Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa
Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisah
kan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.7
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan
sosial manusia.8
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.9
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi. Kebudayaan sangat erat hubungannya
dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan yang lain, yang kemudian disebut
sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.9
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.9
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.9
M. Jacobs dan B.J. Stern, Kebudayaan mencakup keseluruhan
yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta
benda, yang kesemuanya merupakan warisan social.9
Koentjaraningrat, Kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.9
Dr. K. Kupper. Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang
menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik
secara individu maupun kelompok.9
William H. Haviland. Kebudayaan adalah seperangkat peraturan
dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika
dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak
dan dapat di tarima oleh semua masyarakat.9
Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan berarti buah budi manusia
adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan
alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai
rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.9
Francis Merill, Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh
interaksi social. Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang
sebagai anggota suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.9
Bounded et.al , Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk
oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol
tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk
mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat.
Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di harapkan dapat di temukan di dalam
media, pemerintahan, intitusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu.9
Mitchell (Dictionary of Soriblogy), Kebudayaan adalah
sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia dan produk yang
dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar di
alihkan secara genetikal.9
Robert H Lowie, Kebudayaan adalah segala sesuatu yang di
peroleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat,
norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang di peroleh bukan dari
kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat
melalui pendidikan formal atau informal.9
Arkeolog R. Seokmono, Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha
manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam
penghidupan.9
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian
mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Pengertian tradisi menurut KBBI adalah adat kebiasaan turun temurun
(dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau
anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
Di Indonesia, tradisi yang masih dijalankan, dipengaruhi oleh kebudayaan lokal,
Hindu-Budha, dan Islam. Disadari atau tidak, sampai sekarang dalam menjalankan
sebuah tradisi, masyarakat Indonesia masih terpengaruh oleh tiga kebudayaan
asli Indonesia tersebut.
B. Kerangka Konseptual
Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari banyak
masyarakat desa Keboansikep Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo yang tidak
memahami atau mengetahui tentang sejarah lokal di daerahnya tersebut terutama
tentang asal mula nama desanya. Melihat situasi yang demikian perlu kiranya
menggalang partisipasi masyarakat dalam memahami sejarah lokal desanya. Dengan
adanya hasil laporan penelitian “Asal-usul Nama Desa Keboansikep di Kecamatan
Gedangan Kabupaten Sidoarjo (Kajian Legenda dan Budaya)”, diharapkan dapat
memecahkan masalah sehingga masyarakat menjadi lebih paham tentang sejarah
lokal di desanya tersebut serta melestarikannya.
BAB III
METODE PENELTIAN
A. Rancangan Penelitian
Dalam penelitin kualitatif-fenomenologi ada dua metode yang
bisa digunakan untuk mendekati suatu permasalahan yang akan dipecahkan yaitu metode
wawancara dan observasi. Sebelumnya peneliti menentukan kajian-kajian yang akan
dibahas kemudian mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan menacari
informan-informan penduduk desa tersebut.
B. Populasi dan Penentuan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek atau objek yang menjadi
pusat perhatian penelitian. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda,
kejadian, gejala, kasus, waktu, tempat. Populasi dapat berstatus sebagai objek
penelitian jika populasi tersebut sebagai substansi yang diteliti. Populasi
penelitian dapat berstatus sebagai sumber informasi. Dalam penelitian survey,
orang atau sekelompok orang biasanya berfungsi sebagai sumber informasi tentang
hal-hal yang berkaitan dengan dirinya atau fenomena yang berkaitan dengan
dirinya. (Ibnu, Mukhadis dan Dasna: 2003).10
Pelibatan populasi dalam suatu penelitian merupakan suatu
yang ideal. Tetapi dalam suatu penelitian seringkali tidak dapat menjangkau
populasi karena jumlahnya sangat besar. Dengan beberapa pertimbangan,
memungkinkan penelitian populasi tidak perlu dilakukan. Pertimbangan tersebut
adalah pertimbangan akademik, yaitu berlakunya inferensi statistik dan
pertimbangan non akademik yaitu keterbatasan tenaga, waktu, biaya dukungan
logistik dan kepraktisan. (Ibnu, Mukhadis dan Dasna: 2003).10
Maka penelitian dapat hanya menjangkau sebagian dari
populasi. Sebagian populasi tersebut adalah sampel. Sampel merupakan bagian
dari populasi atau sejumlah anggota populasi yang mewakili populasinya. Karena
sampel mewakili populasi maka sampel harus dipilih sesuai dengan karakteristik
populasi tersebut. Sehingga sampel tersebut benar-benar representatif, artinya
sampel tersebut mencerminkan keadaan populasi secara cermat. Cara pengambilan
sampel (sampling) dibedakan menjadi dua yaitu random sampling dan non-random
sampling. Dalam random (acak) sampling, setiap individu anggota populasi
mempunayi kesempatan (probabilitas) yang sama untuk menjadi sampel. Dalam
non-random sampling, kesempatan setiap individu anggota populasi menjadi sampel
tidak sama. Yang termasuk random sampling adalah simple random sampling (acak
sederahana), systematic random sampling, stratified random sampling (acak
stratifiasi atau bertingkat), cluster random sampling (acak rumpun atau
kelompok) dan multistage random sampling (acak gabungan berbagai cara). Yang
termasuk non-random sampling adalah sampling seenaknya, purposif sampling
(sampling bertujuan), quota sampling.
Berdasarkan pengertian di atas peneliti menentukan populasi
yang digunakan dalam penelitian yaitu seluruh warga/masyarakat di Desa
Keboansikep Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan sampelnya yaitu
empat orang warga yang dianggap mengetahui sejarah lokal desa tersebut. Dalam
teknik pengambilan sampel (teknik sampling) peneliti menggunakan teknik random sampling
(simple random sampling-acak sederhana). Penggunaan teknik ini dimaksudkan
untuk mempermudah peneliti dalam mencari informan untuk melengkapi sumber yang
sesuai topik penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Menurut DR. Suharsini Arikunto, wawancara atau kuesioner
lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh
informasi dari terwawancara atau interview.11
Dengan pendapat tersebut di atas teknik atau cara untuk
memperoleh data dilakukan dengan jalan berhubungan dan langsung dengan sumber
data yang dilakukan dengan tanya jawab secara lisan.
Dalam hal wawancara ini dilakukan terhadap Kepala Dusun, dan
empat warga desa yang dianggap paham tentang sejarah lokal desa Keboansikep.
2. Observasi
Menurut DR. Suharsini Arikunto didalam artian penelitian,
observasi dapat dilakukan dengan test, kuesioner, rekaman gambar, rekaman
suara.11
Berdasar pendapat di atas, bahwa Metode Observasi adalah
metode/cara yang dilakukan dengan pengamatan secara langsung pada obyek dalam
kegiatan penelitian. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi
adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau
peristiwa, waktu, dan perasaan.
Adapun data yang ingin diperoleh dengan menggunakan metode
ini adalah data hasil wawancara, peta wilayah Desa Keboansikep Kecamatan
Gedangan Kabupaten Sidoarjo.
D. Teknik Analisis Data
a. Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau
gambaran menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan.
b. Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan
pinggir mengenai data yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data.
c. Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang
dirasakan oleh responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap
pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya,
pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan
yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa
hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau penyusun dari
phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan).
d. Pernyataan tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam unit
makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi.
e. Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara
keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena
tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang
terjadi pada responden) dan structural description (yang menjelaskan bagaimana
fenomena itu terjadi).
f. Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif
mengenai esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman
responden mengenai fenomena tersebut.
g. Membuat laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah
itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis.
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Legenda Asal-usul Nama Desa Keboansikep
P
1. Perang Diponegoro
a. Penyebab Perang Diponegoro
Penyebab Perang Diponegoro adalah rasa tidak puas yang
hampir merata di kalangan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah Belanda, di
wilayah Kesultanan Jogjakarta. Salah satu kebijakan pemerintah Belanda yang
membuat Pangeran Diponegoro marah adalah pembangunan jalan raya yang
menghubungkan Jogjakarta dan Magelang, di mana pembangunan itu melewati makam
leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Diponegoro serta pasukanya mulai melakukan
sebuah tindakan yang membuat pemerintah Belanda marah, yaitu dengan mengganti
patok-patok pembuatan jalan dengan tombak. Meskipun demikian pemerintah Belanda
tetap meneruskan pembuatan jalan tersebut. Pada akhirnya pasukan Diponegoro
mulai menyerang pasukan belanda dengan bergerilya.
b. Terjadinya Perang
Perang Diponegoro berlangsung lima tahun, yaitu dari tahun
1825 sampai 1830. Sampai dengan tahun 1826, pasukan Diponegoro berhasil
memperoleh kemenangan dengan teknik perang gerilya. Untuk meredam perlawanan
pasukan Diponegoro, pemerintah Belanda menerapkan Benteng stelsel (sistem
perbentengan). Dengan demikian, daerah kekuasaan Diponegoro menjadi menyempit.
Akhirnya pemerintah Belanda dapat menangkap Pangeran Diponegoro dengan tipu
muslihat. Ia kemudian diasingkan ke Menado lalu dipindahkan di benteng
Rotterdam di Makasar (Ujung Pandang). Diponegoro pun mati dalam pengasingannya
pada tahun 1855, dengan demikian berakhirlah perang Diponegoro.
c. Akibat Perang Diponegoro
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan
bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang
Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut
separuhnya. Setelah perang berakhir para sisa prajurit Diponegoro menyelamatkan
diri dari pemerintah Belanda. Mereka bergerak dari daerah Jawa Tengah menuju
berbagai daerah di Jawa Timur, mereka bersembunyi di hutan-hutan dan membuka
lahan untuk dijadikan sebuah desa. Sebagian besar hutan-hutan yang dijadikan
persembunyian para pasukan Diponegoro terletak di daerah Kediri, Tulungagung,
Blitar, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan daerah-daerah lain sekitarnya.
2. Terbentunya Desa Keboansikep
Pada Tahun 1850, pasukan Diponegoro datang di daerah hutan
wilayah kota Sidoarjo. Pasukan itu di bawah pimpinan Buyut Endang dan Mbah
Jogoreso. Mereka memutuskan untuk menetap di sana dan mulai menebangi pohon
yang ada di hutan untuk dijadikan sebuah pemukiman. Mbah Jogoreso dan Buyut
Endang itu tidak lain adalah tokoh yang sangat berperan dalam munculnya atau
berdirinya desa Keboansikep. Mereka adalah Mbah Jogoreso dan Buyut Endang yang
telah menjadi suami istri. Pada waktu itu Mbah Jogoreso dan Buyut Endang
mencari wilayah yang untuk dibangun rumah sebagai tempat tinggal demi
kelangsungan hidupnya. Tidak lama kemudian mereka menemukan tempat yang
dianggap sesuai untuk dijadikan pemukiman tempat tinggal. Dengan semangat dan
kegigihannya, Mbah Jogoreso, Buyut Endang serta para prajuritnya berusaha
menjadikan hutan itu menjadi tempat yang berguna demi kelangsungan hidupnya
dengan cara menebang (membabad) hutan tersebut. Dengan semangat, kesabaran,
kegigihan yang diajarkan Mbah Jogoreso serta Buyut Endang kepada para
prajuritnya yang membatunya, sedikit demi sedikit hutan itu berhasil dijadikan
ladang yang dibangun rumah serta tempat untuk ditanami tanaman yang bermanfaat
demi kehidupan sehari-hari.
Setelah Mbah Jogoreso, Buyut Endang beserta para pasukan
yang membantu dalam pembabatan hutan itu memiliki tempat tinggal yang layak,
dalam benak Mbah Jogoreso pernah terlintas fikiran bahwa setiap manusia yang
hidup pasti memiliki keturunan atau generasi. Pada akhirnya keturunan itu juga
akan menambah jumlah manusia yang hidup di tempat itu. Apakah akan cukup
wilayah yang kecil itu, bila jumlah manusianya terus bertambah ?. Akhirnya Mbah
Jogoreso merundingkan hal ini dengan para prajurit yang membatunya tadi,
kemudian muncul kesepakatan untuk melanjutkan penebangan atau pembabatan hutan
supaya menjadi lebih luas wilayah untuk pemukiman demi kehidupan keturunannya
kelak.
Sebelum melakukan kegiatan pembabatan hutan ada pembagian
tugas yaitu perbedaan tempat atau wilayah yang akan dibabad (tebang). Dalam hal
ini Mbah Jogoreso dan Buyut Endang selalu bersamaan untuk penbabatan hutan itu
dan berpisah dari para prajurit lainnya. Pada saat Mbah Jogoreso dan Buyut
Endang melakukan pekerjaan itu, tiba-tiba mereka berdua menemukan sebuah sungai
yang tidak terlalu besar atau lebar. Di sebelah sungai tersebut masih terdapat
hutan belantara yang menurut Mbah Jogoreso harus juga dibabad dan dijadikan
pemukiman. Meraka berdua bergandengan tangan dalam melewati sungai itu, awal
mulanya mereka mengira bahwa sungai itu tidak terlalu dalam. Tetapi angan-angan
difikiran mereka tidak sesuai dengan dugaannya. Karena ketika mereka mulai
melewati sesamapai di tengah sungai, ternyata sungai itu dangkal. Akibat faktor
arus yang yang deras, akhirnya Mbah Jogoreso serta Buyut Endang terhanyut di
sungai itu. Tidak lama kemudian setelah penduduk dan para pengikutnya yang
sudah selesai membabad hutan, mereka tidak satupun yang melihat Mbah Jogoreso
beserta Buyut Endang. Sejumlah penduduk merasa cemas dan kebingungan karena
seharusnya mereka berdua sudah kembali ke pemukimannya. Tapi ada seorang dari
warga itu memiliki ide untuk mencari Mbah Jogoreso serta Buyut Endang dengan
menelusuri daerah yang telah menjadi babatannya. Akhirnya para penduduk setuju
dan dimulailah pencarian itu. Langkah demi langkah mereka menelusuri tempat
yang sudah dibabat Mbah Jogoreso dan Buyut Endang. Sesampai wilayah terakhir
yang dibabat tadi, para warga melihat ada sebuah sungai. Kemudian mereka berhenti
dan berfikir apakah mungkin Mbah Jogoreso dan Buyut Endang melakukan pembabatan
hutan sampai hutan yang berada di sebelah sungai. Akan tetapi tidak sedikitpun
tampak hasilnya. Dari sinilah mereka mulai sadar, apakah mungkin Mbah Jogoreso
dan Buyut Endang mengalami kegagalan dalam melewati sungai ! Akhirnya para
warga sepakat untuk mencari mereka berdua dengan berjalan di tepi sungai
mengikuti arus sungai tersebut. Tidak lama kemudian salah seorang warga melihat
Buyut Endang terdampar di tepi sungai dekat dengan sebuah batu besar. Setelah
dilihat kondisinya, ternyata Buyut Endang telah meninggal. Akan tetapi para
penduduk masih terlihat kebingungan dan gelisah karena Mbah Jogoreso belum juga
ditemukan. Ketika berjalan beberapa meter tidak jauh dari tempat ditemukannya
Buyut Endang, para warga juga menemukan Mbah Jogoreso dalam kondisi tersangkut
di pohon besar yang tumbang ke sungai. Setalah diperiksa ternyata Mbah jogoreso
juga sudah meninggal. Perasaan sedih menyelimuti hati para pasukannya atau
penduduk yang senasib seperjuangan dalam mencari wilayah untuk tempat tinggal.
Akhirnya para penduduk setuju dan memutuskan bahwa Mbah Jogoreso dan Buyut
Endang dimakamkan di tempat dekat mereka masing-masing ditemukan saat terdampar
di sungai. Sehingga letak makam Buyut Endang dan mbah Jogoreso tidak
bersebelahan, akan tetapi berdasar ditemukannya saat mereka berdua terdampar.
Jadi makam Buyut Endang di sebelah barat sedangkan Mbah Jogoreso di sebelah
timur (di hutan dekat sungai saat mereka terdampar). Samapai sekarang makamnya
masih ada dan sungai itu sudah menjadi desa. Setelah meninggalnya Mbah Jogoreso
dan Buyut Endang, para penduduk berjanji akan meneruskan cita-cita mereka
berdua yaitu menebang (membabat) hutan untuk dijadikan pemukiman atau desa.
Mereka berbagi tugas untuk meneruskan cita-cita tersebut dan sepakat mengawali
pembabatan hutan itu yang peratama dimulai dari wilayah yang dekat makam Mbah
Jogoreso dan Buyut Endang.
Setelah beberapa tahun kemudian dengan bertambahnya jumlah
warga yang juga memiliki kepandaian, akhirnya hutan belantara berubah menjadi
pemukiman atau sebuah desa. Bahkan sungai yang menghanyutkan Mbah Jogoreso
beserta Buyut Endang pada saat mengalami kekeringan, oleh warga diratakan
dengan tanah dan menjadi tempat tinggal pula. Akan tetapi desa yang sudah
dihuni banyak penduduk itu belum memiliki nama. Sampai masa sebelum G30/SPKI di
desa itu ada seorang warga menemukan sebuah benda yang berbentuk persegi
ukurannya kecil di kebun dekat langgar, yang sekarang menjadi masjid dan diberi
nama masjid Jami’ Al-Mubarok. Kebun tempat ditemukan persegi (kotak) itu
dulunya milik warga setempat yang bernama Mbah Yem, setelah kotak kecil
ditemukan oleh seorang warga kemudian dibukalah kotak tersebut. Kotak itu
berisi baju berwarna putih atau orang dahulu menyebutnya kelambi putih.
Ahkirnya seorang warga yang menemukan baju putih tadi mengadakan pengumuman,
siapa yang merasa memiliki baju (kelambi) putih ini ? warga masyarakat
memberikan pernyataan bahwa tidak ada seorangpun yang mempunyai baju putih tersebut.
Lalu dikemudian hari kotak kecil yang berisi baju putih itu diserahkan pada
pemerintah Sidoarjo dan disimpan dalam museum. Setelah waktu 1 minggu salah
seorang warga mengambil kotak tersebut dan disimpan di rumah seorang warga yang
menjadi sesepuh desa tersebut. Baju (kelambi) putih itu oleh seorang warga
dicoba untuk dibakar akan tetapi tidak bisa terbakar sedangkan pada saat dicuci
juga tidak basah. Akhirnya baju putih itu disampan oleh seorang warga dan
diabadikan sebagai benda sakral atau keramat. Karena baju putih yang ditemukan
dalam kotak pada sebuah “kebun” dan kegunaannya sebagai penutup tubuh
“sikepi/nyikepi awak” maka pada akhirnya masyarakat sepakat menggunakan istilah
tersebut untuk nama desanya, yaitu Kebunsikep. Ketika pada saat ditinggal Mbah
Jogoreso dan Buyut Endang desa itu belum memiliki sebuah nama. Dianggap kurang
enak didengar maka warga mengganti “Kebunsikep” menjadi “Keboansikep”.
Dengan kondisi masyarakat yang sudah modern, demi
kepentingan sebuah desa maka dibentuklah kepala desa beserta perangkat desa.
Selain itu wilayah desa Keboansikep dibagi mejadi 3 dusun yaitu : dusun
Congkop, dusun Calukan dan dusun Sikep. Desa Keboansikep ini berbatasan
langsung, sebelah timur berbatasan dengan desa Gedangan, sebelah utara berbatasan
dengan desa Bohar, sebelah barat berbatasan dengan desa Keboananom, dan
disebelah selatan berbatasan dengan desa Seruni.
B. Kebudayaan / Tradisi Masyarakat Desa Keboansikep
Tradisi merupakan adat kebiasaan sebuah daerah yang selalu
diturunkan secara turun merurun kepada generasinya. Tradisi suatu daerah akan
menggambarkan atau menunjukkan ciri-ciri khas serta kharakter daerah tersebut,
hal inilah yang membedakan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Di
Indonesia, tradisi yang masih dijalankan, dipengaruhi oleh kebudayaan lokal,
Hindu-Budha, dan Islam. Disadari atau tidak, sampai sekarang dalam menjalankan
sebuah tradisi, masyarakat Indonesia masih terpengaruh oleh tiga kebudayaan
asli Indonesia tersebut.
Desa Keboansikep ini memiliki tradisi dari zaman dahulu yang
masih dilestarikan hingga sekarang, misalnya “bersih desa/ruwatan desa”.
Ruwatan desa ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali menjelang saat memasuki
awal bulan Suro. Biasanya masyarakat mengadakan pengajian atau khataman di
balai desa dari setelah shalat Subuh hingga menjelang shalat Ashar. Kemudian
dilanjutkan dengan acara “tanggap wayang kulit” untuk warga desa Keboansikep
hingga pagi hari atau satu malam suntuk. Wayang kulit ini juga merupakan salah
satu tradisi para wali songo dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia. Selain
itu, misalnya pada saat kegiatan keagamaan seperti Isra’ Mi’raj, diadakan
pengajian di makam Mbah Jogoreso serta Buyut Endang. Bahkan masyarakat juga
menggunakan makam Mbah Jogoreso serta Buyut Endang tersebut sebagai “tempat
perizinan” jika melakukan hajatan keluarga, seperti khitanan/sunatan dan
upacara perkawinan. Akan tetapi pada saat ini bila ada hajatan keluarga seperti
khitanan dan upacara perkawinan masyarakat hanya memberi sesajen saja tanpa
harus ada acara perizinan ke makam Mbah Jogoreso dan Buyut Endang.
Tradisi tersebut di atas masih dilaksanakan masyarakat
hingga sekarang. Bahkan sekarang telah dibentuk organisasi/jamaah pengajian
untuk bapak-bapak dan ibu-ibu tingkat RT yang dilaksanakan setiap malam Jum’at
setelah shalat maghrib. Jadi setiap RT itu memiliki jamaah tahlil
sendiri-sendiri dan pakaian seragamnya juga berbeda-beda.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada dasarnya tidak ada yang mengetahui secara pasti sejarah
terbentuknya Desa Keboansikep. Hal ini dikarenakan para sesepuh yang diyakini
mengetahui sejarah Desa Keboansikep secara pasti sudah meninggal. Namun
masyarakat setempat menganggap ada beberapa orang yang mengetahui sedikit
tentang sejarah Desa Keboansikep. Dari keterangan yang sudah penulis dapatkan,
Buyut Endang dan Mbah Jogoreso adalah tokoh yang membuka lahan baru sebagai
tempat pelarian dari pemerintahan Belanda. Tapi hingga Buyut Endang dan Mbah
Jogoreso meninggal desa tersebut memiliki sebuah nama. Sampai masa sebelum
G30/SPKI di desa itu ada seorang warga menemukan sebuah benda yang berbentuk
persegi ukurannya kecil di kebun dekat langgar, yang sekarang menjadi masjid
dan diberi nama masjid Jami’ Al-Mubarok. Kebun tempat ditemukan persegi (kotak)
itu dulunya milik warga setempat yang bernama Mbah Yem, setelah kotak kecil
ditemukan oleh seorang warga kemudian dibukalah kotak tersebut dan berisi
sebuah Baju (kelambi) putih. Baju itu oleh seorang warga dicoba untuk dibakar
akan tetapi tidak bisa terbakar sedangkan pada saat dicuci juga tidak basah.
Akhirnya baju putih itu disampan oleh seorang warga dan diabadikan sebagai
benda sakral atau keramat. Karena baju putih yang ditemukan dalam kotak pada
sebuah “kebun” dan kegunaannya sebagai penutup tubuh “sikepi/nyikepi awak” maka
pada akhirnya masyarakat sepakat menggunakan istilah tersebut untuk nama
desanya, yaitu Kebunsikep. Ketika pada saat ditinggal Mbah Jogoreso dan Buyut
Endang desa itu belum memiliki sebuah nama. Dianggap kurang enak didengar maka
warga mengganti “Kebunsikep” menjadi “Keboansikep”.
Desa Keboansikep ini memiliki tradisi dari zaman dahulu yang
masih dilestarikan hingga sekarang, misalnya “bersih desa/ruwatan desa”.
Ruwatan desa ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali menjelang saat memasuki
awal bulan Suro. Selain itu, misalnya pada saat kegiatan keagamaan seperti
Isra’ Mi’raj, diadakan pengajian di makam Mbah Jogoreso serta Buyut Endang.
Bahkan masyarakat juga menggunakan makam Mbah Jogoreso serta Buyut Endang
tersebut sebagai “tempat perizinan” jika melakukan hajatan keluarga, seperti
khitanan/sunatan dan upacara perkawinan. Akan tetapi pada saat ini bila ada
hajatan keluarga seperti khitanan dan upacara perkawinan masyarakat hanya
memberi sesajen saja tanpa harus ada acara perizinan ke makam Mbah Jogoreso dan
Buyut Endang.
B. Saran
Dari hasil penelitian tentang Asal-usul Nama Desa
Keboansikep Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo (Kajian Legenda dan Budaya),
maka penulis mengemukakan saran sebagai berikut :
Mengingat sulitnya dalam pembuatan laporan penelitian,
hendaknya dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan para pembaca khususnya
masyarakat desa Keboansikep Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo ada kemauan
untuk memahami sejarah lokal di daerahnya serta melestarikanya huinga generasi
berikutnya .
Sejarah lokal sangat penting dimasukan sebagai suatu
kurikulum di sekolah karena memegang peranan yang sangat urgen untuk
membangkitkan kecintaan pelajar kepada daerahnya. Kecintaan siswa pada
daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan
suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai
dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang
tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Suyono. 1990. Legenda Asal-usul Nama Tempat sebagai Bahan
untuk Penulisan Sejarah Lokal: dalam Bunga Rampai Pelangi Bahasa dan Sastra
Indonesia. Surabaya: FPBS IKIP Surabaya.
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research
Design. Sage Publications, Inc: California.
Kartono Kartini, Drs., 1990, Pengantar Metodologo Riset
Sosial, Penerbit : Mandar maju, Jakarta.
Zainuddin, M., 1988. Metodologi Penelitian, Surabaya: Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga.
http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=asal+&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all&varkelas=all&submit=kamus
http://www.sastrajawa.com/category/teori-budaya/
Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York:
Macmillan. Third edition, 1882, available online. Retrieved: 2006-06-28.
Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics and
Cultures of Legahkjkjl Identities. University of Michigan Press.
http://exalute.wordpress.com/2009/03/29/definisi-kebudayaan-menurut-para-ahli/
Ibnu, S., Mukhadis, A dan Dasna, I.W., 2003. Dasar-dasar
Metodologi Penelitian, Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang
Suharsini Arikuntao, Drs., 1992, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik, Penerbit : Rineka Cipta, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar